I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sapi Bali mempunyai
peranan penting bagi
masyarakat sehingga perlu
dikembangkan dengan tujuan
utama untuk memenuhi
kebutuhan permintaan daging yang
semakin hari terus
meningkat. Selain itu, meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan daging sapi Bali tidak diimbangi dengan jumlah
populasi sapi Bali yang ada. Sapi Bali juga dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tenaga
kerja, penghasil pupuk,
dan berfungsi serbagai tabungan untuk sewaktu-waktu
dimanfaatkan.
Sapi Bali merupakan
jenis sapi yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang buruk sekalipun. Untuk
meningkatkan jumlah populasi ternak sapi Bali diperlukan usah perbaikan baik
dari segi manajemen, pakan maupun reproduksinya, Karena reproduksi juga sangat
menentukan dalam proses produksi daging
ternak sapi Bali dan produksi yang baik akan menjamin keberlansungan populasi
ternak sapi Bali.
Kualitas reproduksi
seekor ternak sangat dipengaruhi oleh umur
dan kualitas pakan.
Umur sangat mempengaruhi
kualitas reproduksi karena adanya
pengaruh hormon yang
memacu perkembangan organ reproduksi. Pengembangan sapi Bali dapat
dioptimalkan dengan memanfaatkan potensi pejantan
unggul dan betina unggul.
Potensi pejantan
yang unggul dapat diketahui dengan
mengetahui status reproduksi
sapi jantan, yaitu dengan
mengetahui terlebi dahulu organ-organ
reproduksi yang berperan
penting dan mempunyai hubungan erat dengan potensi reproduksi.
Potensi pejantan dapat dinilai berdasarkan kondisi organ reproduksi ternak
tersebut, terutama organ testisnya. Testis merupakan organ reproduksi
jantan yang dapat menghasilkan
spermatozoa. Potensi betina yang unggul dapat diketahui dengan mengetahui
status reprodusi dari ternak betina. Potensi betina dapat dinilai berdasarkan kondisi
organ reproduksi ternak tersebut, terutama organ ovariumnya. Pengamatan
terhadap oosit dan spermatozoa hanya dapat dilakukan dengan menggunakan
mikroskop.
Berdasarkan uraian diatas maka
dilakukanlah praktikum pengamatan terhadap preparasi oosit dan preparasi
spermatozoa pada ternak sapi Bali. Praktikum ini dilakukan karena tingginya
rasa keingintahuan mahasiswa terhadap morfologi spermatozoa dan oosit pada
ternak sapi Bali.
1.2.
Rumusan Masalah
Kurangnya pengetahuan masyarakat dan
mahasiswa tentang cara mengetahui potensi pejantan dan betina unggul, sehingga
masalah yang akan dibahas dalam laporan ini yaitu “Bagaimanakan morfologi dan
karasteristik spermatozoa matang dan
oosit matang dengan melakukan pengamatan pada preparasi oosit dan spermatozoa
pada ternak sapi Bali”.
1.3.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan dilaksanakannya praktikum ini
adalah untuk mengetahui morfologi dan karasteristik spermatozoa matang dan oosit matang pada ternak sapi Bali.
Manfaat dari pelaksanaan praktikum ini adalah dapat mengetahui
morfologi dan karasteristik spermatozoa matang dan oosit matang.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi Testis dan Anatomi Ovarium
Kemampuan
reproduksi hewan jantan dapat ditentukan oleh kualitas semen dan konsentrasi
spermatozoanya. Salah satu kriteria kualitas yang baik dapat dilihat dari konsentrasi spermatozoanya (Aku
A.S, et al , 2011).
Kartasudjana
(2009) disitasi Aku, et al (2011)
(mengemukakan bahwa dalam teknologi inseminasi
buatan, konsentrasi spermatozoa
atau kandungan spermatozoa dalam setiap
actormis semen merupakan
salah satu parameter
kualitas semen yang sangat
berguna untuk menentukan
jumlah betina yang
dapat diinseminasi menggunakan
semen
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rataan berat ovarium tertinggi terdapat pada sapi
betina yang berumur 3 /tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat
aktivitasovarium tertinggi tercapai
pada umur 3
tahun.
Pada periode ini,
saluran reproduksi telah berkembang dan siap untuk menjalankan
fungsinya masing-masing secara sempurna (Saili, et al , 2011). Arman dan
Dilaga (2002) disitasi Saili, et al (2011)
mengemukakan bahwa pertumbuhan,
perkembangan dan aktivitas fungsional acto pada sapi terjadi
pada umur 35 dan 38 bulan. Selain itu, hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa ovarium
kiri pada umumnya
lebih berat dibandingkan
dengan ovarium kanan. Hal ini mungkin
merupakan indikasi bahwa aktivitas ovarium
kiri lebih tinggi dibandingkan
dengan ovarium kanan.
Ovarium pada sapi berbentuk bulat telur.
Ukurannya relative kecil dibanding dengan besar tubuhnya. Ukuran normal ovari
sangat bervariasi dari satu spesies ke spesies lain bahkan antara spesies juga
terdapat bervariasi. Ukurannya adalah panjang 2 sampai 3 cm, lebar 1 sampai 2
cm, tebal 1 sampai 2 cm dan beratnya berkisar antara 15 sampai 19 gram. Ovarium
digantung oleh alat penggantung mesofarium dan ligamentum utero ovarika Ovarium
tertinggal didalam cavum abdominalis. Ovarium mepunyai dua fungsi, sebagai
organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai organ endokrin
yang mensekresikan hormon kelamin betina estrogen dan progesteron (Santoso,
2009).
2.2.
Mofologi Spermatozoa
Spermatozoa
dihasilkan dari membran basal tubuli seminiferi dalam testes, mulai ketika
ternak mencapai pubertas, melalui proses yang disebut spermatogenesis. Sperma
yang dihasilkan dari tubuli seminiferi,
dialirkan ke epididymis untuk mendewasakan diri. Adanya kontraksi dari
epididymis, sperma dialirkan ke bagian
ekor epididymis dan dibagian ini sperma mulai dapat bergerak sendiri, serta
mempunyai daya untuk membuahi ovum.
Keberhasilan IB
ditunjang oleh beberapa faktor , salah
satu faktor yang berperan adalah kualitas
semen yang digunakan
untuk IB. Semen yang dipersiapkan
untuk pelaksanaan IB
harus mengandung jumlah spermatozoa
yang cukup dan fertilitas yang
memadai. Pengujian terhadap
fetilitas merupakan tahapan akhir dari
rangkaian pengujian kualitas spermatozoa. Untuk menentukan spermatozoa layak
untuk IB, kualitas
spermatozoa diperiksa dengan berbagai
metode, antara lain: persentase motilitas, daya hidup, intak
akrosom dan morfologi normal. Morfologi spermatozoa digunakan sebagai salah satu
kriteria penting dalam evaluasi
kualitas semen (Vilakazi
and Webb, 2004).
Berdasarkan metode pewarnaan abnormalitas spermatozoa terbagi atas
bagian kepala meliputi pearshaped (pyriform), narrow at the base (tapered),
abnormal countour, undeveloped, narrow heads, variable size (macrocephalus,
microcephalus), double head, serta abnormalitas bagian ekor meliputi abaxial,
coiled tails (simple bent, under the head, double folded) dan
abnormal midpiece (Arifiantini, et al., 2005).
2.3.
Morfologi Oosit
Perkembangan
oosit terdiri dari tiga tahap yaitu
proliferasi, pertumbuhan, dan pematangan.
Pada tahap proliferasi terjadi proses mitosis oogonium menjadi beberapa oogonia
yang terjadi pada
saat pralahir atau sesaat
setelah lahir kemudian oogonia
berdiferensiasi menjadi oosit primer dengan inti tahap profase I. Inti oosit pada tahap ini disebut Germinal Vesicle (GV) yang ditandai dengan adanya membrane inti yang utuh dan nucleus
yang jelas. Selanjutnya oosit akan memasuki
tahap pertumbuhan dan
pematangan yang berlangsung
bersamaan dengan proses perkembangan
folikel. Pertumbuhan oosit
ditandai dengan peningkatan
diameter oosit dan pertambahan ukuran dari organel-organel seperti
kompleks golgi, retikulum
endoplasmik halus, butir
lemak, peningkatan proses transkip untuk sintesis protein. Tahap pematangan oosit ditandai dengan
beberapa proses perkembangan inti oosit (Hafez and Hafez, 2000 disitasi Syamsudin 2014)
Oosit
adalah sebuah sel germinal betina atau sel prokeasi, sel telur. Oosit mengalami
penambahan sitoplasma tanpa melakukan meiosis. Selam masa pertumbuhan, oosit
yang tedapat didalam folikel mengalami 2 fase istirahat masing-masing pada
profase meiosis pertama dan metaphase meiosis ke dua. Oosit yang melewati fase
istirahat pertama ditandai dengan pecahnya dinding pembungkus inti sel yang
dikenal dengan germinal fesicle break down. Tahap ini merupakan tanda awal
pencapaian kematangan oosit yang dikuti dengan penyatuan nukleoplasma dan
sitoplasma serta perpindahan kromosom kebagian tepi permukaan oosit dan
berakhir dengan pelepasan polar body pertama
(Dale & Lder 1997) disitasi Saili (2006).
Lamanya waktu penyimpanan ovarium
selama transportasi akan menyebabkan terjadinya kekurangan suplai darah akibat
ovarium telah terpisah dari tubuh hewan. Hal ini menyebabkan hilangnya suplai
oksigen dan energi menuju ovarium sehingga mengakibatkan ovarium dalam kondisi
ischmia dan reoksigenasi (Budianto., et
al , 2013).
III.
METODEOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Minggu,
20 Desember 2015 pada pukul 13.00-15.00
WITA. Bertempat di Laboratorium Reproduksi Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Halu Oleo, Kendari.
3.2. Alat dan Bahan Praktikum
Alat dan bahan yang
digunakan pada praktikum ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Alat yang
digunakan dalam praktikum Pengamatan Preparasi Oosit dan Spermatozoa
Alat
|
Kegunaan
|
Mikroskop
|
Untuk
mengamati oosit dan spermatozoa
|
Cawan
petri
|
Untuk
tempat media preparasi oosit
|
Pipet
haemotocrit
|
Untuk
memindahkan dan memisahkan oosit dengan cara disedot
|
Mikropipet
|
Untuk
memindahkan aquades ke cawan petri dan membuat drop air
|
Siring
|
Untuk
mengambil cairan
|
Termos
|
Untuk
menyimpan organ reproduksi (sampel) dengan mempertahankan suhu yang sesuai
|
Cutter
Haemositometer
|
Alat
untuk memotong organ reproduksi ternak
Untuk
memudahkan menghitung jumlah spermatozoa yang hidup dan yang mati
|
|
|
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam praktikum
Pengamatan Preparasi Oosit dan Spermatozoa
Bahan
|
Kegunaan
|
Cairan
HCL
|
Sebagai
pembasmi mikroba
|
Ovarium
|
Sebagai
bahan pengamatan
|
Testis
|
Sebagai
bahan pengamatan
|
Alcohol
|
Untuk
pembersi cawan petri agar terlindung
dari mikroba
|
Cairan
NaCL
Cairan
eosin
|
Pembersi
cauda dari mikroorganisme
Untuk
mengetahui jumlah spermatozoa hidup dan jumlah spermatozoa mati
|
3.3. Metode Praktikum
Prosedur pengamatan yang diakukan
pada pengamatan Oosit dan Spermatozoa adalah sebagai berikut :
3.3.1. Preparasi Oosit
Ø Koleksi
Ovaria
Ø Koleksi
Oosit
1.
Aspirasi oosit dengan menggunakan
syringe dan jarum 23 G yang berisi NaCl
2.
Menampung cairan yang diperoleh dari
folikel dalam cawan petri
3.
Melakukan pencarian Oosit
Ø Pengamatan
1.
Melakukan pengamatan oosit yang
diperoleh dibawah mikroskop
2.
Menjelaskan morfologi oosit
3.
Menentukan grade oosit
4.
Menggambar hasil pengamatan
3.3.2. Preparasi
Spermatozoa
Ø Koleksi
Spermatozoa
1.
Memisahkan Cauda dari corpus dan caput
epididimis
2.
Membuat sayatan dengan silet atau cutter
3.
Cairan dari cauda epididmis diisap
dengan pipet eritrosit
Ø Pengamatan
1.
Mengamati spermatozoa dibawah mikroskop
2.
Melakukan pengamatan morfologi
spermatozoa
3.
Menggambar hasil pengamatan
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan metode pewarnaan yang
dilakuakan untuk pengamatan terhadap persentase daya hidup spermatozoa dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase daya hidup spermatozoa
No
|
Motilitas
|
Kelompok
|
Jumlah
|
Presentase (%)
|
|||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
||||
1
2
|
Hidup
Mati
|
23
13
|
26
3
|
16
8
|
17
2
|
12
5
|
14
3
|
106
34
|
75,7
24,3
|
Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan, untuk mengetahui spermatozoa hidup dan
spermatozoa mati yang dilakukan sebelum
melakukan pengamatan adalah meneteskan cairan eosin pada sampel yang digunakan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Kavak et
al. (2004) bahwa sampel yang telah ada selanjutnya diwarnai dengan eosin
berdasarkan metode Williams yang dikembangkan pada tahun 1920 dan dimodifikasi
oleh Largelof tahun 1934. Setelah itu
mengamati diabawa mikroskop apakah terjadi perubahan warna atau tidak, jika
spermatozoa mengalami perubahan warna menjadi kemera-merahan berarti
spermatozoa tersebut dapat dikatakan telah mati. Sementara itu untuk menentukan presentase spermatozoa hidup dapat digunakan rumus sebagai berikut :
Daya hidup =
|
Jumlah
sperma hidup
|
X
100%
|
Jumlah
sperma keseluruhan
|
Berdasarkan Tabel 3
dapat dijelaskan bahwa jumalah
spermatozoa hidup presentasenya lebih tinggi dibandingkan julah spermatozoa
mati. Presentase jumlahspermatozoa yang
hidup adalah 75,7% sedangkan presentase spermatozoa yang mati adalah 24,3%.
Presentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil pengamatan Anggraeni
et al (2004) rataan motilitas semen
segar sapi peranakan PO–Simental yang dipakai pada penelitian adalah 80,7 ±
0,1%. Rendahnya presentasi spermatozoa hidup yang didapatkan hal ini mungkin
disebabkan oleh lamanya penyimpanan spermatozoa tanpa perlakuan preservasi
maupun kripreservasi.
Selain daya hidup
spermatozoa variabel lain yang diamati adalah kematangan spermatozoa.
Pengamatan ini dilakukan dengan cara melihat benjolan-benjolan bening pada
bagian badan dan ekor spermatozoa. Jumlah spermatozoa matang adalah 8 sedang
jumlah spermatozoa yang belum matang adalah 21. Untuk menentukan presentase
tingkat kematangan spermatozoa digunakan rumus seebagia berikut :
Sperma matang =
|
Jumlah
sperma matang
|
X
100%
|
Jumlah
sperma keseluruhan
|
Berdasarkan rumus diatas maka didapatkan presentasse
jumlah spermatozoa matang adalah 27,6% sedangkan jumlah spermatozoa yamg belum
matang adalah 72,4%. Rendahnya jumalah spermatozoa yang matang disebabkan oleh
faktor testis yang digunakan, dimana testis yang digunakan diambil pada ternak
sapi yang masi muda sehingga beelum mengalami pematangan yang belum sempurna.
Selain penagamatan pada spermatozoa maka pengmatan yang
dilakukan selanjutnya adalah pengamtan pada oosit. Berdasarkan Gambar 4 dapat
dijelaskan bahwa tingkat kematangan
oosit terdapat 3 grade yaitu grade 1, grade 2 dan grade 3. Pada grade 1 sel
telur bisa dikatakan matang dengan sempurna, dimana disekeliling sel telur suda
terdapat sel-sel kumulus yang dinamakan dengan kumulus ooporus. Dedangkan pada grade 2 sel-sel kumulus
penampakannya sudah tidak jelas atau tidak beraturan. Sementara itu pada grade
3 sel telur berbentuk botak dimana tidak ada sel-sel kumulus disekelilingnya,
sehingga sel telur ini dapat dikatakan sebagai sel telur yang belum matang
secara sempurna. Bilodeau-Goeseels
dan Panich (2002)
menyatakan persentase tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit
yang memiliki lebih dari lima lapis sel kumulus mencapai angka yang lebih tinggi dan berbeda nyata daripada tingkat pembelahan
sel yang berasal
dari oosit dengan
lapisan sel kumulus
kurang dari lima lapis, walaupun sitoplasmanya homogeny.
V.
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
pengamatan dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa spermatozoa dapat dikatakan matang apabila suda tidak terdapat benjolan bening
diseluru bagian tubuh spermatozoa, sedangkan sel telur dapat dikatakan
matang dengan sempurna apabila disekeliling
sel telur suda terdapat sel-sel kumulus yang dinamakan dengan kumulus ooporus.
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - Mapyro
BalasHapusGet directions, reviews and 여수 출장샵 information 파주 출장안마 for Harrah's 군산 출장안마 Cherokee Casino & 김천 출장안마 Hotel in 안성 출장마사지 Cherokee, NC. Harrah's Cherokee Casino & Hotel · Visit Website.