Minggu, 27 Desember 2015

LAPORAN TEKNOLOGI REPRODUKSI



I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
             Sapi  Bali  mempunyai  peranan  penting  bagi  masyarakat  sehingga  perlu  dikembangkan  dengan  tujuan  utama  untuk  memenuhi  kebutuhan permintaan  daging  yang  semakin  hari  terus  meningkat.   Selain  itu,  meningkatnya kebutuhan masyarakat akan daging sapi Bali tidak diimbangi dengan jumlah populasi sapi Bali yang ada. Sapi  Bali  juga dapat  dimanfaatkan  oleh masyarakat sebagai  tenaga  kerja,  penghasil  pupuk,  dan  berfungsi  serbagai tabungan untuk sewaktu-waktu dimanfaatkan.
Sapi Bali merupakan jenis sapi yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang buruk sekalipun. Untuk meningkatkan jumlah populasi ternak sapi Bali diperlukan usah perbaikan baik dari segi manajemen, pakan maupun reproduksinya, Karena reproduksi juga sangat menentukan dalam  proses produksi daging ternak sapi Bali dan produksi yang baik akan menjamin keberlansungan populasi ternak sapi Bali.
Kualitas  reproduksi  seekor ternak  sangat dipengaruhi oleh  umur  dan  kualitas  pakan.  Umur  sangat  mempengaruhi  kualitas reproduksi  karena  adanya  pengaruh  hormon  yang  memacu  perkembangan  organ reproduksi. Pengembangan  sapi  Bali  dapat  dioptimalkan  dengan  memanfaatkan potensi  pejantan  unggul dan betina unggul.
            Potensi pejantan yang unggul dapat diketahui dengan  mengetahui  status  reproduksi  sapi  jantan, yaitu dengan mengetahui terlebi dahulu organ-organ  reproduksi  yang  berperan  penting  dan  mempunyai hubungan erat dengan potensi reproduksi. Potensi pejantan dapat dinilai berdasarkan kondisi organ reproduksi ternak tersebut, terutama organ testisnya. Testis merupakan organ reproduksi jantan  yang dapat menghasilkan spermatozoa. Potensi betina yang unggul dapat diketahui dengan mengetahui status reprodusi dari ternak betina. Potensi betina dapat dinilai berdasarkan kondisi organ reproduksi ternak tersebut, terutama organ ovariumnya. Pengamatan terhadap oosit dan spermatozoa hanya dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop.
            Berdasarkan uraian diatas maka dilakukanlah praktikum pengamatan terhadap preparasi oosit dan preparasi spermatozoa pada ternak sapi Bali. Praktikum ini dilakukan karena tingginya rasa keingintahuan mahasiswa terhadap morfologi spermatozoa dan oosit pada ternak sapi Bali.
1.2. Rumusan Masalah
            Kurangnya pengetahuan masyarakat dan mahasiswa tentang cara mengetahui potensi pejantan dan betina unggul, sehingga masalah yang akan dibahas dalam laporan ini yaitu “Bagaimanakan morfologi dan karasteristik spermatozoa matang  dan oosit matang dengan melakukan pengamatan pada preparasi oosit dan spermatozoa pada ternak sapi Bali”.
1.3. Tujuan dan Manfaat
            Tujuan dilaksanakannya praktikum ini adalah untuk mengetahui morfologi dan karasteristik spermatozoa matang  dan oosit matang pada ternak sapi Bali.
            Manfaat  dari pelaksanaan praktikum ini adalah dapat mengetahui morfologi dan karasteristik spermatozoa matang  dan oosit matang.









II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Testis dan Anatomi Ovarium
Kemampuan reproduksi hewan jantan dapat ditentukan oleh kualitas semen dan konsentrasi spermatozoanya. Salah satu kriteria kualitas yang baik dapat dilihat dari konsentrasi   spermatozoanya  (Aku  A.S,     et al , 2011).
Kartasudjana (2009) disitasi Aku, et al  (2011) (mengemukakan  bahwa  dalam teknologi  inseminasi  buatan,  konsentrasi  spermatozoa  atau  kandungan  spermatozoa dalam  setiap  actormis  semen  merupakan  salah  satu  parameter  kualitas  semen  yang sangat  berguna  untuk  menentukan  jumlah  betina  yang  dapat  diinseminasi menggunakan semen
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan berat ovarium tertinggi terdapat pada sapi betina yang berumur 3 /tahun. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat aktivitasovarium  tertinggi  tercapai  pada  umur  3  tahun.  
Pada    periode  ini,  saluran  reproduksi  telah berkembang dan siap untuk menjalankan fungsinya masing-masing secara sempurna (Saili, et al , 2011). Arman dan  Dilaga  (2002) disitasi Saili, et al   (2011)  mengemukakan  bahwa  pertumbuhan,  perkembangan  dan  aktivitas fungsional acto pada sapi terjadi pada umur 35 dan 38 bulan. Selain itu, hasil penelitian ini juga  memperlihatkan  bahwa ovarium  kiri  pada  umumnya  lebih  berat  dibandingkan  dengan ovarium  kanan. Hal  ini mungkin  merupakan  indikasi  bahwa aktivitas  ovarium  kiri  lebih tinggi dibandingkan dengan ovarium kanan.
Ovarium pada sapi berbentuk bulat telur. Ukurannya relative kecil dibanding dengan besar tubuhnya. Ukuran normal ovari sangat bervariasi dari satu spesies ke spesies lain bahkan antara spesies juga terdapat bervariasi. Ukurannya adalah panjang 2 sampai 3 cm, lebar 1 sampai 2 cm, tebal 1 sampai 2 cm dan beratnya berkisar antara 15 sampai 19 gram. Ovarium digantung oleh alat penggantung mesofarium dan ligamentum utero ovarika Ovarium tertinggal didalam cavum abdominalis. Ovarium mepunyai dua fungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon kelamin betina estrogen dan progesteron (Santoso, 2009).
2.2. Mofologi Spermatozoa
Spermatozoa dihasilkan dari membran basal tubuli seminiferi dalam testes, mulai ketika ternak mencapai pubertas, melalui proses yang disebut spermatogenesis. Sperma yang dihasilkan dari  tubuli seminiferi, dialirkan ke epididymis untuk mendewasakan diri. Adanya kontraksi dari epididymis,  sperma dialirkan ke bagian ekor epididymis dan dibagian ini sperma mulai dapat bergerak sendiri, serta mempunyai daya untuk membuahi ovum.  
Keberhasilan  IB  ditunjang  oleh  beberapa faktor ,  salah  satu  faktor  yang  berperan  adalah  kualitas  semen  yang  digunakan  untuk  IB.  Semen  yang  dipersiapkan  untuk  pelaksanaan  IB  harus mengandung  jumlah  spermatozoa  yang  cukup  dan fertilitas  yang  memadai. Pengujian terhadap  fetilitas merupakan tahapan  akhir  dari  rangkaian  pengujian kualitas   spermatozoa. Untuk menentukan spermatozoa  layak  untuk  IB,  kualitas  spermatozoa diperiksa  dengan  berbagai  metode,  antara  lain: persentase motilitas, daya hidup, intak akrosom dan morfologi  normal. Morfologi  spermatozoa digunakan sebagai salah satu kriteria penting dalam evaluasi  kualitas  semen  (Vilakazi  and  Webb,  2004).
Berdasarkan metode pewarnaan abnormalitas spermatozoa terbagi atas bagian kepala meliputi pearshaped (pyriform), narrow at the base (tapered), abnormal countour, undeveloped, narrow heads, variable size (macrocephalus, microcephalus), double head, serta abnormalitas bagian ekor meliputi abaxial, coiled tails (simple bent, under the head, double folded) dan abnormal midpiece (Arifiantini, et al., 2005).
2.3. Morfologi Oosit
Perkembangan oosit  terdiri dari tiga tahap yaitu proliferasi, pertumbuhan, dan pematangan.  Pada tahap proliferasi terjadi proses mitosis oogonium menjadi beberapa  oogonia  yang  terjadi  pada  saat  pralahir  atau  sesaat  setelah  lahir kemudian oogonia berdiferensiasi menjadi oosit primer dengan inti tahap profase I.  Inti oosit pada tahap ini disebut  Germinal Vesicle  (GV) yang ditandai dengan  adanya membrane inti yang utuh dan nucleus yang jelas.  Selanjutnya oosit akan  memasuki  tahap  pertumbuhan  dan  pematangan  yang  berlangsung  bersamaan dengan  proses  perkembangan  folikel.  Pertumbuhan  oosit  ditandai  dengan peningkatan diameter oosit dan pertambahan ukuran dari organel-organel seperti kompleks  golgi,  retikulum  endoplasmik  halus,  butir  lemak,  peningkatan  proses transkip untuk sintesis protein.  Tahap pematangan oosit ditandai dengan beberapa proses perkembangan inti oosit (Hafez and Hafez, 2000 disitasi Syamsudin 2014)
Oosit adalah sebuah sel germinal betina atau sel prokeasi, sel telur. Oosit mengalami penambahan sitoplasma tanpa melakukan meiosis. Selam masa pertumbuhan, oosit yang tedapat didalam folikel mengalami 2 fase istirahat masing-masing pada profase meiosis pertama dan metaphase meiosis ke dua. Oosit yang melewati fase istirahat pertama ditandai dengan pecahnya dinding pembungkus inti sel yang dikenal dengan germinal fesicle break down. Tahap ini merupakan tanda awal pencapaian kematangan oosit yang dikuti dengan penyatuan nukleoplasma dan sitoplasma serta perpindahan kromosom kebagian tepi permukaan oosit dan berakhir dengan pelepasan polar body pertama  (Dale & Lder 1997) disitasi Saili (2006).
            Lamanya waktu penyimpanan ovarium selama transportasi akan menyebabkan terjadinya kekurangan suplai darah akibat ovarium telah terpisah dari tubuh hewan. Hal ini menyebabkan hilangnya suplai oksigen dan energi menuju ovarium sehingga mengakibatkan ovarium dalam kondisi ischmia dan reoksigenasi (Budianto., et al , 2013).
III. METODEOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Minggu, 20 Desember  2015 pada pukul 13.00-15.00 WITA. Bertempat di Laboratorium Reproduksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Halu Oleo, Kendari.
3.2. Alat dan Bahan Praktikum
Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum Pengamatan Preparasi Oosit dan Spermatozoa
Alat
Kegunaan
Mikroskop
Untuk mengamati oosit dan spermatozoa
Cawan petri
Untuk tempat media preparasi oosit
Pipet haemotocrit
Untuk memindahkan dan memisahkan oosit dengan cara disedot
Mikropipet
Untuk memindahkan aquades ke cawan petri dan membuat drop air
Siring
Untuk mengambil cairan
Termos
Untuk menyimpan organ reproduksi (sampel) dengan mempertahankan suhu yang sesuai
Cutter
Haemositometer
Alat untuk memotong organ reproduksi ternak
Untuk memudahkan menghitung jumlah spermatozoa yang hidup dan yang mati


Tabel 2.  Bahan yang digunakan dalam praktikum Pengamatan Preparasi Oosit dan Spermatozoa
Bahan
Kegunaan
Cairan HCL
Sebagai pembasmi mikroba
Ovarium
Sebagai bahan pengamatan
Testis
Sebagai bahan pengamatan
Alcohol
Untuk pembersi  cawan petri agar terlindung dari mikroba
Cairan NaCL
Cairan eosin
Pembersi  cauda dari mikroorganisme
Untuk mengetahui jumlah spermatozoa hidup dan jumlah spermatozoa mati





 
3.3. Metode Praktikum
            Prosedur pengamatan yang diakukan pada pengamatan Oosit dan Spermatozoa adalah sebagai berikut :
3.3.1. Preparasi Oosit
Ø Koleksi Ovaria
Ø Koleksi Oosit
1.   Aspirasi oosit dengan menggunakan syringe dan jarum 23 G yang berisi NaCl
2.   Menampung cairan yang diperoleh dari folikel dalam cawan petri
3.   Melakukan pencarian Oosit
Ø Pengamatan
1.   Melakukan pengamatan oosit yang diperoleh dibawah mikroskop
2.   Menjelaskan morfologi oosit
3.   Menentukan grade oosit
4.   Menggambar hasil pengamatan
3.3.2. Preparasi Spermatozoa
Ø Koleksi Spermatozoa
1.   Memisahkan Cauda dari corpus dan caput epididimis
2.   Membuat sayatan dengan silet atau cutter
3.   Cairan dari cauda epididmis diisap dengan pipet eritrosit
Ø Pengamatan
1.   Mengamati spermatozoa dibawah mikroskop
2.   Melakukan pengamatan morfologi spermatozoa
3.   Menggambar hasil pengamatan







BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan metode pewarnaan yang dilakuakan untuk pengamatan terhadap persentase daya hidup spermatozoa dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase daya hidup spermatozoa
No
Motilitas
Kelompok
Jumlah
Presentase (%)
I
II
III
IV
V
VI
1
2
Hidup
Mati
23
13
26
3
16
8
17
2
12
5
14
3
106
34
75,7
24,3

            Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, untuk mengetahui spermatozoa hidup dan spermatozoa  mati yang dilakukan sebelum melakukan pengamatan adalah meneteskan cairan eosin pada sampel yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kavak et al. (2004) bahwa sampel yang telah ada selanjutnya diwarnai dengan eosin berdasarkan metode Williams yang dikembangkan pada tahun 1920 dan dimodifikasi oleh Largelof   tahun 1934. Setelah itu mengamati diabawa mikroskop apakah terjadi perubahan warna atau tidak, jika spermatozoa mengalami perubahan warna menjadi kemera-merahan berarti spermatozoa tersebut dapat dikatakan telah mati. Sementara itu  untuk menentukan presentase spermatozoa  hidup dapat digunakan rumus sebagai berikut :
Daya hidup =
Jumlah sperma hidup
X 100%
Jumlah sperma keseluruhan

Berdasarkan Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa  jumalah spermatozoa hidup presentasenya lebih tinggi dibandingkan julah spermatozoa mati.  Presentase jumlahspermatozoa yang hidup adalah 75,7% sedangkan presentase spermatozoa yang mati adalah 24,3%. Presentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil pengamatan Anggraeni et al (2004) rataan motilitas semen segar sapi peranakan PO–Simental yang dipakai pada penelitian adalah 80,7 ± 0,1%. Rendahnya presentasi spermatozoa hidup yang didapatkan hal ini mungkin disebabkan oleh lamanya penyimpanan spermatozoa tanpa perlakuan preservasi maupun kripreservasi.
Selain daya hidup spermatozoa variabel lain yang diamati adalah kematangan spermatozoa. Pengamatan ini dilakukan dengan cara melihat benjolan-benjolan bening pada bagian badan dan ekor spermatozoa. Jumlah spermatozoa matang adalah 8 sedang jumlah spermatozoa yang belum matang adalah 21. Untuk menentukan presentase tingkat kematangan spermatozoa digunakan rumus seebagia berikut :
Sperma matang =
Jumlah sperma matang
X 100%
Jumlah sperma keseluruhan

            Berdasarkan rumus diatas maka didapatkan presentasse jumlah spermatozoa matang adalah 27,6% sedangkan jumlah spermatozoa yamg belum matang adalah 72,4%. Rendahnya jumalah spermatozoa yang matang disebabkan oleh faktor testis yang digunakan, dimana testis yang digunakan diambil pada ternak sapi yang masi muda sehingga beelum mengalami pematangan yang belum sempurna.
            Selain penagamatan pada spermatozoa maka pengmatan yang dilakukan selanjutnya adalah pengamtan pada oosit. Berdasarkan Gambar 4 dapat dijelaskan bahwa  tingkat kematangan oosit terdapat 3 grade yaitu grade 1, grade 2 dan grade 3. Pada grade 1 sel telur bisa dikatakan matang dengan sempurna, dimana disekeliling sel telur suda terdapat sel-sel kumulus yang dinamakan dengan kumulus ooporus. Dedangkan pada grade 2 sel-sel kumulus penampakannya sudah tidak jelas atau tidak beraturan. Sementara itu pada grade 3 sel telur berbentuk botak dimana tidak ada sel-sel kumulus disekelilingnya, sehingga sel telur ini dapat dikatakan sebagai sel telur yang belum matang secara sempurna. Bilodeau-Goeseels  dan  Panich  (2002)  menyatakan  persentase  tingkat pembelahan sel yang berasal dari oosit yang memiliki lebih dari  lima lapis  sel kumulus mencapai angka yang  lebih tinggi dan berbeda nyata  daripada tingkat  pembelahan  sel  yang  berasal  dari  oosit  dengan  lapisan  sel  kumulus  kurang  dari  lima lapis, walaupun sitoplasmanya homogeny.





V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
            Berdasarkan pengamatan dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa  spermatozoa dapat dikatakan matang  apabila suda tidak terdapat benjolan bening diseluru bagian tubuh spermatozoa, sedangkan sel telur dapat dikatakan matang  dengan sempurna apabila disekeliling sel telur suda terdapat sel-sel kumulus yang dinamakan dengan kumulus ooporus.



















 



1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino & Hotel - Mapyro
    Get directions, reviews and 여수 출장샵 information 파주 출장안마 for Harrah's 군산 출장안마 Cherokee Casino & 김천 출장안마 Hotel in 안성 출장마사지 Cherokee, NC. Harrah's Cherokee Casino & Hotel · Visit Website.

    BalasHapus